Sunday, December 10, 2017

Hendaklah Kita Menjadi Pelaku Kebaikan sesuai Semangat Natal

Natal lagi, senangnyaaa.... Natal selalu membawa suasana jadi lebih menyenangkan, alunan lagu-lagu Natal, pohon-pohon natal yang berkelap kelip, hiasan natal yang beraneka macam, semuanya menjadikan suasana menjadi lebih ceria dan menyenangkan. Suasana kegembiraan Natal itu seperti seseorang yang menantikan suasana pesta yang meriah dan penuh sukacita.

Ketika kita sedang menikmati suasana natal, kadangkala ada situasi diluar kendali kita yang kemudian membuat suasana gembira itu menjadi hilang, mungkin saja kita tiba-tiba terkena musibah, atau mungkin sakit, atau tergelincir masalah. Semuanya itu membuat kita jadi tidak lagi bersemangat menantikan Natal.

Sesungguhnya Yesus pernah memperingatkan kita agar kita tidak seperti orang-orang Farisi, "Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya (Mat 23:4)". Ketika kita menyambut kedatangan Kristus, kita sebenarnya juga diingatkan bahwa, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku (Mt 16:24)." Jadi, apapun keadaan kita, apapun situasi yang mungkin sedang membelenggu kita saat ini, hendaknya dengan suasana Natal menjadikan segala pergulatan kita itu menjadi berkat tersendiri bagi kita. Sama seperti ketika Kristus hadir ditengah kita. Dia yang hadir dalam suasana malam pekat disimpan dalam palungan. Beban yang harus ditanggung oleh Bunda Maria dan St. Yosef sebagai orang tua ketika terpaksa harus membiarkan anaknya lahir dalam kandang tidak kemudian menjadikan Maria dan Yosef bersedih dan kehilangan sukacita itu. Mereka sadar akan konsekuensi dari pilihan mereka ketika mereka memutuskan untuk menjadi abdi Allah, menjadi pengikut Kristus yang setia dan taat.

Teladan Bunda Maria dan St. Yosef yang penuh iman itu pada akhirnya membawa terang bagi dunia, bayi yang terbungkus kain lampin dan dibaringkan dalam palungan itulah yang kemudian menjadi terang dan penyelamat dunia. Jika Allah mengijinkan kita kembali merayakan Natal itu artinya Allah memberi kita kesempatan lagi untuk merasakan sukacita Natal itu lagi, Allah mengingatkan kita kembali bahwa dibalik setiap kesulitan kita, dibalik semua kesedihan dan beban berat yang sedang kita tanggung, pasti ada sukacita pada akhirnya.
Selain itu Allah juga mengingatkan pada kita bahwa meskipun kita dalam keadaan yang sedang berbeban, tidak seharusnya hal tersebut menjadi penghalang kita untuk membagikan sukacita Natal. Kita dapat tetap berbagi sukacita meskipun sedang bersedih, kita dapat membagikan kebaikan meskipun hidup sedang terasa berat. Seperti dalam salah satu kotbah Romo Heru, SCJ yang saya ingat adalah, "Jangan puas menjadi penikmat kebaikan yang dibuat orang lain. Marilah kita menjadi salah satu pemainnya." Ya, dengan berbagi sukacita, dengan berbagi kebaikan, dengan berbagi senyum, kita telah menjadi pelaku kebaikan juga seperti yang diteladankan oleh Bunda Maria dan St. Yosef yang tetap berbagi sukacita meski dalam keadaan paling sederhana sekalipun.

Saudaraku yang terkasih, selamat mempersiapkan diri menyambut kedatangan Yesus. Mari kita menularkan sukacita dan kegembiraan Natal kepada sesama kita. Allah adalah setia, janji-Nya adalah "YA" dan "AMIN", tetaplah teguh dalam iman kita akan penyelamat dan terang dunia, Yesus Kristus. Karena dalam Dialah kita merasa tenang, dalam Dialah segala perkara dapat kita tanggung, tetaplah berpengharapan seperti Bintang Timur yang memberikan petunjuk dan harapan baru bagi mereka yang mencarinya. Di penghujung tahun 2017 inipun ijinkan saya mengucapkan harapan saya juga. Semoga setiap tulisan yang pernah saya buat dapat membantu kita bersama dalam penghayatan iman. Semoga Anda memaafkan apabila mungkin ada tulisan-tulisan saya yang sekiranya kurang berkenan. Selamat Natal 2017 dan Tahun Baru 2018. Semoga Tuhan memberkati Anda sekalian dan Bunda Maria mendoakan kita semua. 

Monday, November 13, 2017

Mari Mengisi Masa Adven denga Pertobatan

Mendengar kata "adven" selalu memberikan kesan yang berbeda bagi saya pribadi, karena setiap kali mendengarnya, adven rasanya memberikan sukacita tersendiri yang membuatnya selalu terkenang. Dalam masa-masa penantian ini seringkali menimbulkan kenangan lama yang terus terkenang, kadang disertai juga dengan harapan baru dalam menyongsong Natal, menyongsong kehadiran Yesus Kristus.

Adalah seorang anak yang meminta ijin kepada ibunya untuk pergi merantau demi mengejar cita-cita dan ambisinya untuk sukses. Meskipun berat, ibu ini akhirnya mengijinkan anaknya untuk pergi dengan harapan anaknya suatu saat akan kembali lagi padanya. Hari demi hari, bulan demi bulan hingga kemudian berganti tahun, sang anak yang pada awalnya masih rajin berkirim kabar semakin lama seolah telah melupakannya, tak ada lagi surat, tak ada telpon, tak ada kabar sampai beberapa tahun kemudian. Sang ibu dengan setia mendoakan anaknya agar selamat dan suatu saat kembali untuk sekedar menengoknya. Namun harapan itu semakin dipendamnya karena anaknya ini seolah menjauh darinya. Dengan penuh pengharapan ibu ini tetap berdoa dan menunggu.

Suatu ketika sang ibu kedatangan beberapa orang anggota polisi yang berseragam lengkap dan menanyakan apakah ibu tersebut mengenal seseorang dalam foto yang mereka bawa dan menyebutkan nama anaknya. Ternyata polisi tersebut menemukan anak sang ibu dalam kondisi yang mengenaskan. Dia menjadi korban kekerasan dan akibatnya anaknya lumpuh dan tak dapat bergerak lagi. Meskipun dalam kondisi fisik yang sangat menyedihkan sang ibu tetap dengan sukacita menyambut kedatangan anaknya kembali dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Saudaraku yang terkasih, dalam hidup mungkin kita pernah tersesat seperti anak tersebut. Demi mengejar cita-cita dan ambisi pribadinya, kita lupa akan orang-orang yang kita kasihi. Kita tak lagi menyediakan waktu kita untuk mereka, kita sibuk sendiri dengan pekerjaan dan usaha kita, kita menganggap bahwa orang tua kita, suami/istri kita, bahkan anak-anak kita sudah cukup dewasa untuk dapat menghargai ambisi pribadi yang ingin kita capai, yang ingin kita raih, kita sering mengabaikan mereka bahkan tidak sabar pada mereka padahal sesungguhnya keluarga kita adalah tempat dimana kita dapat selalu merasa nyaman. Keluarga adalah orang-orang yang selalu mendoakan kita dan selalu memeluk kita dengan erat kala kita berada dalam kondisi terburuk kita. Keluarga selalu memberikan kita tempat apabila kita ingin pulang dan menerima kita apa adanya.

Kadang dalam hidup, kita mungkin juga bertindak seperti sang ibu, yang hanya dapat berdoa, dan berharap bahwa suami/istri kita, atau anak-anak kita bertobat dari jalan yang salah. Kita merasa pengorbanan kita sia-sia, doa kita tak didengar karena telah bertahun-tahun tetap tidak ada perubahan, mungkin kita pun merasa harapan kita telah hilang karena sepertinya tidak ada titik terang dari masalah kita. Namun sesungguhnya, kita diajarkan untuk dapat belajar bahwa harapan itu selalu ada dan terbuka bagi siapapun yang setia dan bertekun.

Hanya diri kita saja yang dapat menilai menjadi siapakah kita sekarang ini? Menjadi sang anak yang terlalu sibuk, ataukah sang ibu yang setia dan bertekun? Apabila saat ini kita merasa menjadi sang anak, maka masa adven adalah masa yang paling tepat apabila kita isi dengan pertobatan dan mau memperbaiki diri kita sendiri. Apabila saat ini kita sedang berada dalam posisi sang ibu, percayalah bahwa harapan selalu ada, bahwa waktu Tuhan tidak pernah terlambat. Mari kita isi masa adven ini dengan semakin mendekatkan diri pada Tuhan sehingga pada akhirnya kita akan mendapatkan sukacita yang penuh sebagaimana yang Tuhan janjikan. "Kata-Nya: "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (Mar 1:15).

Mari kita menyongsong Natal dengan mengisinya dengan pertobatan, beramal kasih dan tetap berpengharapan pada Tuhan Yesus Kristus karena Dia menjanjikan sukacita pada setiap orang yang didapati-Nya setia dan bertekun. Selamat menjalani masa adven dan menyongsong Natal yang penuh sukacita. Semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria mendoakan kita semua. 

Monday, October 9, 2017

Rosario sebagai Lambang Kesetiaan Iman

Ketika kita membahas mengenai berdoa rosario, mungkin sebagian besar orang langsung mengidentikannya dengan novena, dengan ujud-ujud tertentu yang diinginkan. Atau mungkin berharap pada keajaiban tertentu dengan rajin mendaraskannya. Sebagian orang berpikir bahwa doa rosario merupakan doa yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria dan dengan rajin mendoakannya niscaya keinginan kita akan terkabul. Padahal sesungguhnya Doa Rosario adalah kumpulan doa yang lengkap. Lengkap dengan berbagai kisah tentang Yesus dan perjalanan-Nya dan tidak melulu tentang Maria.

Ketika kita berdoa rosario, kita diajak merenungkan kisah hidup Yesus dari sejak pertama kali Bunda Maria mendapat kabar gembira dari malaikat Tuhan bahwa Ia akan mengandung dari Roh Kudus. Roh Kudus yang sama itulah yang sampai kini masih terus melayang-layang di dunia ini mencari hati yang terbuka dan mau menerimanya dengan sukacita. Ketika kita memutuskan untuk menerima Roh Kudus saat pembaptisan kita, sebenarkan kita diajak untuk terus melibatkannya dalam keseharian kita.

Roh Kudus hendaknya kita undang dalam setiap doa kita. Ketika kita mampu berdoa dalam roh dan kebenarannya disitulah kita dapat mencerminkan kesetiaan iman kita. Lalu apa hubungannya, rosario dan kesetiaan iman?

Adalah seorang anak laki-laki yang tinggal berdua dengan ibunya karena sejak ia masih kecil ayahnya pergi meninggalkan mereka. Ibunya yang baik hati tidak ingin agar putranya jadi membenci ayahnya yang meninggalkan mereka, selalu mengatakan bahwa ayahnya itu ketika pergi sempat berpamitan dan berjanji akan kembali setelah dia berhasil dan mengalami kesuksesan. Ibunya setiap malam selalu mengajak putranya ini untuk berdoa rosario. Tahun demi tahun berlalu tanpa ada sedikitpun kabar dari ayahnya membuat pemuda ini berpikir bahwa mungkin ibunya telah berbohong padanya. Bahwa ayahnya tak pernah ada niat untuk kembali ketika dia memutuskan untuk pergi dan meninggalkan keluarganya. Pemuda ini pun mulai berpikir, untuk apalagi dia mendoakan rosario setiap hari? Untuk apa dia mendoakan ayahnya untuk kembali padahal yang bersangkutan memang tidak ada usaha sama sekali untuk kembali pada keluarganya? Pemuda inipun mulai mempertanyakan untuk apalagi tetap setia berdoa rosario kalau pada akhirnya tidak berguna?

Ibunya mengatakan bahwa ia tidak mengajaknya berdoa rosario untuk membesarkan hatinya atau berbohong padanya. Ibunya lalu mengutip sebuah ayat dalam Kitab Suci, "Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan (Yak 5:11)." Kalimat berikutnya membuat pemuda ini terdiam, ibunya berkata, "Ketika kau bertekun, mendoakan orang yang berbuat jahat padamu, maka tenanglah jiwamu dan kedamaian dekat denganmu. Bukan masalah sebesar apa kesalahan yang orang lakukan terhadapmu, tapi seberapa damai hatimu saat berdoa dan menjalani hari-harimu? Bunda Maria mengajarkan kesetiaan ketika ia turut serta dalam mengikuti jalan salib Putranya, kesetiaan itulah yang pada akhirnya mengangkat Maria ke surga. Kesetiaan itulah yang diwariskan Bunda Maria lewat berdoa rosario. Saat kamu bertekun dalam doa rosario, Bunda Maria akan mendampingi dan menganugerahimu dengan ajaran kesetiaannya."

Saudaraku, Tuhan sendiri mengatakan bahwa orang yang bertekun adalah orang yang berbahagia. Ketika Anda ingin mencari kebahagiaan, bukankah Tuhan sudah menjawabnya? Bertekunlah, belajarlah akan arti kesetiaan melalui Bunda Maria, lewat warisannya berupa doa rosario. Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan Anda. Dan semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria mendoakan Anda.

Sunday, September 10, 2017

Kitab Suci sebagai Pelita Hidup

Ada yang berbeda ketika kita mengikuti perayaan Ekaristi pada tanggal 02 atau 03 September yang lalu. Jika Anda tidak datang terlambat untuk misa, Anda pasti melihat ada seorang lektor yang membawa Kitab Suci besar untuk kemudian ditahtakan oleh Imam di depan altar. Bagi Anda yang sudah lama menjadi katolik, mungkin Anda sudah tidak asing lagi dengan tradisi perarakan Kitab Suci setiap tahun di awal bulan September. Namun bagi Anda yang baru mengenal tradisi Katolik, atau baru mau mengenal dan menjadi Katolik, bulan September telah ditetapkan sebagai Bulan Kitab Suci Nasional, yang artinya kita sebagai umat Katolik diharapkan untuk mau lebih sering membaca Kitab Suci, memahami maknanya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari kita.

Mungkin Anda berpikir untuk apa ada penetapan khusus seperti itu? Apa gunanya peringatan bulan Kitab Suci Nasional itu? Mengapa perlu adanya penetapan selama 1 bulan hanya untuk mengajak umat lebih mengenal Kitab Suci?

Kitab Suci adalah kumpulan dari ajaran-ajaran Kristus yang telah dirangkum menjadi sebuah buku tebal dengan banyak kitab dan ayat-ayat di dalamnya. Kitab Suci adalah jawaban atas semua persoalan hidup yang mungkin sedang Anda alami saat ini. Sekali lagi saya katakan, semua jawaban! Mungkin Anda tidak percaya tapi memang kenyataannya seperti itu. Semua jawaban atas pertanyaan Anda sebetulnya sudah Tuhan beri jawabannya pada Kitab Suci. Hanya Anda mungkin belum menyadarinya.

Katakanlah Anda adalah orang yang sangat sibuk, Anda tidak punya banyak waktu untuk membaca Kitab Suci setiap hari, tapi Anda rajin mengikuti perayaan Ekaristi setiap minggu di gereja. Anda pasti mendengarkan Kitab Suci dibacakan. Tanpa Anda sadari, sedikit demi sedikit ajaran-ajaran itu pasti terekam dalam alam bawah sadar Anda. Ketika Anda sedang menghadapi situasi sulit dalam hidup Anda, tiba-tiba Anda seperti mendapat pencerahan dengan mengingat satu dua ayat dari Kitab Suci.

Adalah seorang anak perempuan sedang mencari kayu bakar untuk dijual di pasar demi membantu ibunya yang sedang sakit. Dalam perjalanannya ke hutan, dia teringat akan pesan ibunya, "Ikatlah pita-pita rambutmu sepanjang perjalanan agar kau tidak tersesat. Jangan masuk ke hutan terlalu dalam, kembalilah ke kota sebelum matahari terbenam dan bawalah selalu senter ini sebagai bekal di perjalanan." Anak ini menuruti perintah ibunya. Sepanjang jalan dia mengikat beberapa pita rambutnya sebagai penunjuk arah agar tidak tersesat. Hari makin siang dan kayu bakar yang dikumpulkannya belum cukup banyak untuk bisa dijual. Akhirnya tanpa disadarinya, anak ini terus berjalan masuk ke tengah hutan. Ketika tiba di tengah hutan, ia akhirnya menemukan cukup banyak kayu bakar untuk diangkut. Namun sayang, dia kehabisan pita rambutnya. Seketika itu anak tersebut menjadi bimbang, apabila ia meneruskan perjalanan tentunya ia akan mendapat kayu bakar yang sangat banyak untuk dijual dan dapat digunakan untuk membeli obat bagi ibunya yang sakit. Namun disisi lain, ia terus teringat akan nasihat ibunya. Akhirnya dengan berat hati ia hanya mengangkut kayu bakar seadanya dan memutuskan untuk kembali ke kota dan menjual hasil yang dikumpulkannya itu karena ia terus mendengar nasihat yang berulang-ulang dikatakan oleh ibunya sebelum ia berangkat. Dalam perjalanan pulangnya ia mendapati kabut turun lebih cepat. Beruntung ia membawa senter sebagai penerang jalannya, sehingga ia dapat melihat jejak-jejak pita rambut yang ditinggalkannya dan akhirnya selamat kembali ke kota.

Saudaraku, mungkin nasihat ibu tadi pada anaknya sama seperti ayat-ayat dalam Kitab Suci yang berulang-ulang kita dengar. Ketika kita hampir tersesat kita terus teringat akan kata-kata itu. Sama seperti itulah yang akan kita terima apabila kita rajin membaca Kitab Suci, ia akan menuntun kita kembali ke arah yang benar. Sama juga dengan senter yang dibawa anak tadi, ketika kita memutuskan untuk melaksanakan perintah Allah yang dituangkan dalam Kitab Suci, seketika itu pula ajaran Kristus itu menjadi penerang bagi jalan kita.

Bulan September ini adalah bulan yang tepat untuk mengajak orang terdekat kita, keluarga kita, untuk lebih mengenal Kitab Suci, mungkin Anda tidak akan langsung melihat hasilnya namun percayalah suatu saat ayat-ayat dalam Kitab Suci itulah yang akan menjadi kekuatan bagi Anda. Ketika kita sejak dini mengajak anak-anak kita mengenal Kitab Suci, percayalah bahwa saat anak Anda menjadi dewasa, mereka akan merasakan manfaatnya. Mari kita bersama mulai mengenal lebih dekat ajaran-ajaran Kitab Suci agar kita dapat terus bertumbuh dalam iman, pengharapan dan tentunya kasih pada Allah dan sesama. Semoga Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria mendoakan kita semua.

Friday, August 11, 2017

Memaknai Kemerdekaan Sejati dalam Keluarga

Ketika berbicara soal keluarga, setiap dari kita pasti memiliki gambaran ideal tentang keluarga yang seperti apa yang kita impikan. Suasana keluarga yang bagaimana yang kita harapkan, atau bahkan saudara seperti apa yang cocok dengan kita. Ya, gambaran keluarga ideal biasanya menjadi curahan hati atau harapan indah yang kita idam-idamkan. Tetapi kenyataan seringkali membawa kita pada kekecewaan. Kenyataan seringkali membuat kita bertanya mengapa kita terlahir dalam keluarga kita sekarang? Atau mengapa kita tidak dapat hidup sebagaimana gambaran ideal kita?

Sebetulnya apabila kita dapat merenungkan makna dibalik keinginan dan harapan kita, apabila kita merasa tidak puas atau bahkan kecewa dengan keluarga kita, mungkin ada keegoisan diri yang menguasai kita. Merenungkan sebuah gambaran ideal keluarga dengan dilatarbelakangi suatu sikap egois tidak akan membuat kita lebih bahagia.

Seorang anak, mungkin mengharapkan orang tuanya untuk tidak membatasi pergaulannya, untuk memberikan kebebasan berteman dan bersosialisasi dengan berbagai macam orang tanpa khawatir orang tua akan melarangnya. Sebagai orang tua, mungkin mereka mengharapkan anak yang rajin dan penurut, tidak pernah membantah sehingga tumbuh menjadi anak yang baik dan berbakti. Seorang suami mengharapkan istri yang mampu mendampinginya dan mendidik anak-anak dengan baik. Seorang istri mengharapkan suami yang bertanggung jawab, setia dan mampu membimbingnya dan anak-anak menjadi suatu keluarga yang rukun. Tetapi gambaran tersebut seakan menjadi impian kosong di siang hari.

Setiap keluarga, pasti banyak tantangan dan rintangan yang dihadapi. Ketika menghadapi tantangan tersebut, bagaimana sikap kita? Apakah kita menyalahkan keadaan? Ataukah kita menyesali tinggal dalam keluarga kita? Atau bahkan mempertanyakan keputusan Tuhan yang menempatkan kita dalam keluarga tersebut? "Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku (Mazmur 139:13)". Ingatlah bahwa Tuhan telah mengenal kita sejak kita ditenun dalam kandungan. Tidak pernah salah keputusan Tuhan. Dialah yang menjadikan kita dan Dia juga yang akan menjaga kita.

Ketika kita sibuk memikirkan gambaran ideal keluarga sebagaimana yang kita harapkan bukankah sebetulnya kita telah menghalangi diri dari sukacita, kedamaian dan ketentraman hati kita? Kita seperti telah menutup diri terhadap berkat-berkat Tuhan dengan keluh kesah dan ketidakpuasan kita pada keluarga kita. Kita lupa bersyukur bahwa ada orang yang menjaga kita, mengingatkan kita ketika kita melakukan kesalahan, menegur kita saat kita menyimpang, orang yang benar-benar perduli pada kita dengan tulus. Selalu ada niat baik yang melatarbelakangi setiap keputusan dalam keluarga. Hanya terkadang sikap kita yang seringkali salah menafsirkan niat baik tersebut. Kita sering berprasangka tanpa terlebih dahulu mengklarifikasikannya dengan keluarga kita. Sikap kitalah sebetulnya yang kadang kala menjerumuskan bahkan menjauhkan kita dengan orang yang kita cintai. Sikap kitalah yang seringkali juga menimbulkan salah paham dan tanpa sadar menyakiti perasaan orang-orang yang kita kasihi. Sikap kita juga yang tanpa kita sadari telah menjauhkan kita dari sukacita tinggal dan memiliki keluarga.

Saudaraku yang terkasih, kita telah hidup dalam dunia yang menghargai dan menjunjung tinggi kebebasan. Kita hidup dalam dunia yang mendambakan kemerdekaan yang sejati. Merdeka dari belenggu keegoisan, merdeka dari jerat iri hati, merdeka dari sikap sinis yang dapat menghancurkan hubungan dalam ikatan persaudaraan kita. Kita yang merdeka tentunya akan mampu mewujudkan gambaran ideal keluarga sebagaimana yang kita dambakan. Kita yang merdeka tentunya akan mampu menciptakan sukacita dalam keluarga kita. Kita yang merdeka adalah kita yang meneladan pada ajaran Allah. Kita yang merdeka adalah kita yang berusaha menjadi seperti keluarga Kudus Nazaret. Kita akan mampu mencapai kemerdekaan itu asalkan kita mau menyediakan waktu untuk Tuhan, dengan rendah hati mau menerima pengajaran Tuhan, mau sukarela mengikuti perintah-Nya dan terbuka pada setiap bimbingan-Nya.

Marilah saudaraku yang terkasih, kita belajar meneladan keluarga kudus Nazaret sehingga kita dapat memaknai kemerdekaan sejati kita. Kemerdekaan dari sikap dan tindakan yang justru akan memecahbelah tali persaudaraan kita. Niscaya dengan meraih kemerdekaan sejati kita maka kita akan menciptakan suasana penuh sukacita dalam keluarga kita. Semoga Tuhan selalu membimbing langkah kita dalam mewujudkan suasana kekeluargaan yang lebih damai. Semoga kita tetap setia mendengarkan nasihat-Nya dan tetap rendah hati pada setiap ajaran-Nya. Semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria mendoakan saudara.  

Monday, July 10, 2017

Iman Tumbuh dalam Pelayanan

Rasanya sudah lama sekali saya tidak menulis. Rindu juga rasanya. Padahal baru 2 bulan terlewat karena berbagai situasi, tapi rasanya sudah lama sekali. Ketika menulis ini kerinduan itu terobati juga. Saya jadi teringat akan sebuah kisah hidup yang menginspirasi saya membuat tulisan ini.

Semua berawal ketika seorang sahabat menceritakan tentang seseorang yang dikenalnya, hidupnya terlihat kudus, karena dia rajin ke gereja, ikut kegiatan keagamaan, suka membaca kitab suci, tampak luar terlihat begitu religius. Namun kehidupannya diluar kegiatan gereja ternyata sangat bertentangan, suka berpesta pora, mabuk-mabukan, berselingkuh dan "kenakalan-kenakalan" lain yang sangat bertentangan dengan ajaran agama. Kehidupannya sangat tidak sejalan dengan kegiatan religius yang dia laksanakan dan ikuti. Cerita sahabat saya ini lalu membuat saya berpikir, bagaimana bisa seseorang seperti itu? Seperti memiliki kehidupan ganda dimana suatu saat dia begitu terlihat taat beragama tapi di sisi lain, godaan jasmani atau istilah dalam kitab suci keinginan daging ternyata tak mampu untuk di tahannya? Dia seperti tidak mampu melaksanakan apa yang diimaninya.

Benarkah ada orang seperti itu? Ya. Jawabannya ADA. Mungkin kita adalah salah satunya, dimana kita tak mampu melaksanakan atau menjalankan ajaran Yesus padahal kita telah rajin ke gereja misalnya. Namun mungkin saja apa yang tanpa kita sadari telah kita lakukan itu mungkin tidak seekstrim kisah hidup seseorang yang diceritakan oleh sahabat saya itu. Bila teman dari sahabat saya itu terlihat begitu kontras antara kehidupan satu dengan yang lainnya, mungkin saja apa yang terjadi pada kita tidak kita sadari namun orang lain dapat melihatnya.

Pernahkah ada dalam benak Anda, ketika Anda mendoakan seseorang yang sakit lalu kemudian sembuh dan Anda berpikir, berkat doa saya dia menjadi sembuh? Atau pernahkah Anda merasa hebat ketika berhasil melaksanakan suatu kegiatan doa yang kemudian berhasil mempertobatkan banyak orang? Pernahkah Anda merasa bahwa berkat campur tangan Anda segala urusan pelayanan menjadi beres dan berjalan dengan baik? Bukankah itu termasuk dalam "kesombongan iman" Anda saat Yesus justru mengajarkan tentang melayani sesama dengan kasih?

Saudaraku terkasih, tuaian memang banyak, namun pekerja sedikit. Sedikit dari sekian banyak orang yang mau menerima dan menjalankan panggilan Tuhan untuk melayani di gereja, di komunitas, di lingkungan. Sebagai orang-orang yang terpanggil, yang terpilih, yang mau menjawab panggilan Tuhan, alangkah baiknya apabila kita tidak tenggelam dalam arogansi pribadi kita. Ketika Anda menerima panggilan Tuhan, bukankah Anda mengharapkan sesuatu dari-Nya? Jujur saja saudara-saudaraku terkasih, sebagian besar dari kita pasti ingin sesuatu dari menanggapi panggilan Tuhan itu. Mungkin Anda berharap, dengan melayani-Nya Allah akan menambahkan iman Anda, atau mungkin dengan melayani Tuhan Anda berharap mendapatkan kekuatan dalam menjalankan kehidupan ini? Anda masing-masing pasti punya alasan, punya motivasi tersendiri ketika menjawab "YA" pada panggilan Tuhan.

Saudaraku terkasih, ketika Anda melayani Tuhan dengan segenap kerendahan hati Anda, dengan segala ketulusan Anda, dengan semua daya upaya, usaha dan pengorbanan Anda, ketika itulah Tuhan mengubah hidup Anda. Jangan pernah mengharapkan berkat apapun, jangan pernah menuntut mujizat dari Tuhan, lakukan segala pelayanan Anda dengan tulus dan rendah hati, maka Allah akan mencukupkan segalanya bagi Anda. Seperti Yesus pernah berkata kepada seorang perempuan pendosa, "Tetapi Yesus berkata kepada perempuan itu: "Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" (Luk 7:50), maka janji itupun berlaku bagi kita yang melayani dengan tulus. Iman yang menyelamatkan itu hanya akan kita dapatkan ketika kita dengan rendah hati melayani Tuhan, seperti perempuan pendosa yang melayani Yesus, membasuh kaki-Nya dan meminyaki-Nya dengan minyak wangi terbaik.

Mari saudaraku yang terkasih, kita belajar memperbaiki diri. Belajar rendah hati, belajar melayani Tuhan dengan tulus, sehingga Allah menganugrahkan pada kita iman yang terus bertumbuh. Iman yang pada akhirnya akan menyelamatkan kita. Semoga Tuhan Yesus memberkati dan Bunda Maria mendoakan Anda.

Thursday, April 6, 2017

Memperoleh Kebangkitan seperti Teladan Yesus

Masa Prapaskah bagi umat katolik selalu diidentikkan sebagai masa pertobatan. Orang berbondong-bondong mengikuti devosi jalan salib untuk merenungkan kisah sengsara Tuhan Yesus, ada yang menghabiskan banyak waktu dan tenaganya untuk melakukan banyak pelayanan sebagai bentuk pertobatannya. Ada pula yang menyumbang banyak uang ke lembaga-lembaga sosial sebagai salah satu bentuk silihnya. Banyak juga orang katolik berpantang dan berpuasa atau melakukan berbagai macam cara untuk menunjukan bentuk pertobatannya. Tetapi sesungguhnya, adakah yang benar-benar mengalami pertobatan itu?

Ketika merenungkan ibadat jalan salib, ada kalanya otak manusia kita mungkin berpikir, bagaimana mungkin Yesus yang juga manusia itu rela mengorbankan nyawa demi orang lain yang tidak Dia kenal? Mari kita jujur pada diri sendiri, sebagai manusia ketika kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, bahkan nyawa taruhannya, apakah kita rela mengorbankan nyawa kita? Mungkin Anda berpikir bahwa, "ya itu kan Yesus, Dia kan Anak Allah, dan sebagai konsekuensinya ya Dia harus mau dong berkorban demi umat manusia, merelakan diri menjalani jalan salib". Ingat Yesus yang kita percayai itu SUNGGUH ALLAH SUNGGUH MANUSIA, yang artinya meskipun Dia Anak Allah tapi Dia juga sepenuhnya MANUSIA.

Mari sekarang saya ajak Anda mengubah pola pikir kita sebelumnya. Yesus tahu Dia adalah Anak Allah, Yesus sadar sepenuhnya bahwa Dia harus menjalani panggilanNya. Sekarang mari kita "bandingkan" diri kita seperti Yesus. "Saya sadar saya adalah seorang anak dari orang tua yang begitu menyayangi saya tapi apakah saya mau menjalani panggilan saya sebagai anak? Apa saya mau mengurus orang tua saya sampai mereka tua nanti? Ataukah saya malah berusaha menghindari panggilan saya sebagai anak dengan mengirim orang tua saya ke panti jompo karena saya tak tahan lagi mengurusi orang tua saya yang sakit-sakitan itu? Saya sudah cukup repot dengan mengurus keluarga saya sendiri, saya tak ada waktu mengurusi orang tua saya lagi maka dari itu saya terpaksa mengirimnya ke panti jompo." Begitukah kehidupan Anda saat ini?

Atau "Saya sadar sepenuhnya bahwa saya memilih untuk hidup berkeluarga. Saya adalah ayah dari seorang istri dan beberapa orang anak. Saya kepala keluarga yang bertanggung jawab penuh untuk memberi nafkah dan menghidupi keluarga saya. Setiap hari dari pagi sampai sore saya menghabiskan waktu di tempat kerja. Ketika pulang ke rumah, saat saya sedang lelah istri saya malah sibuk dengan anak-anak saya yang rewel. Rumah berantakan, makan malam belum tersedia padahal saya ingin istirahat. Saya melampiaskan kemarahan saya pada istri saya yang tidak becus mengurus rumah tangga. Saya pergi keluar mencari hiburan untuk meringankan kepenatan dikantor dan dirumah. Hal yang wajar menurut saya." Apakah Anda termasuk dalam golongan tersebut? Menghindari tanggung jawab dan janji perkawinan yang telah Anda ucapkan?

Banyak contoh lain dalam kehidupan sehari-hari kita yang sebetulnya dapat kita bandingkan dengan teladan Yesus. Dia yang sungguh Allah sungguh manusia itu, dapat saja menghindari tanggung jawabnya sebagaimana kita manusia biasa yang seringkali mencari alasan dan pembelaan diri untuk menghindari panggilan kita. Tapi apa yang Yesus lakukan? Dia hanya berdoa, "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi (Luk 22:42)." Dia ingin menghindarinya, tapi Yesus memilih menjalaninya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita mau menjalani panggilan kita di dunia ini dengan sepenuh hati? Apakah kita mau melaksanakan panggilan kita dengan sungguh, tegar hati dan tidak setengah-setengah?

Yesus mengajarkan pada kita bahwa lewat jalan salibNya, lewat sengsara-Nya, Dia justru mendapat kebangkitan. Kematian Yesus di kayu salib ternyata adalah kematian yang menghidupkan lewat kebangkitan-Nya yang mulia. Dia rela mati agar kita hidup. Kita yang ingin memperoleh kebangkitan, tidak perlu ikut mengulangi jalan salib yang Yesus pernah jalani dulu, Allah memberikan warisan pada kita berupa Sakramen Tobat. Lewat Sakramen Tobat kita seolah-olah mati di salib dan kemudian dibersihkan dan dibangkitkan kembali setelah kita mendapat penitensi dari Pastor sebagai wakil Allah di dunia.

Mari kita bersama-sama mati dan bangkit kembali sebagai pribadi yang lebih baik seturut ajaran Yesus sendiri. Mari kita memilih jalan yang Tuhan ajarkan pada kita. Tidak ada gunanya menyangkal, bahkan menghindari panggilan kita di dunia. Bersama teladan jalan salib Yesus, mari kita berani melangkah, menjalaninya bersama Yesus, dan bukan menghindar atau melarikan diri. Bersama Tuhan kita pasti bisa bangkit kembali. Terimalah sakramen tobat sebagai langkah awal kita menuju kebangkitan kita. Semoga Tuhan memberkati Anda dan Bunda Maria mendoakan kita semua. Selamat Paskah.

Monday, March 13, 2017

Hidup Sejahtera dengan Peduli pada Alam

Arus teknologi dan informasi yang kian berkembang pesat membuat banyak prioritas dalam hidup seseorang menjadi berubah. Perubahan yang kian berkembang juga mengakibatkan pola pikir dan panduan perilaku yang juga banyak bergeser dari nilai-nilai asalnya. Seseorang yang tidak mampu mengikuti perubahan dan perkembangan jaman yang semakin cepat akan tertinggal semakin jauh dan akan menjadi semakin sulit beradaptasi dengan keadaan-keadaan yang baru.

Manusia sekarang menjadi manusia instan, ingin segala sesuatunya dilakukan, dikerjakan dan memberikan hasil yang cepat dapat diperoleh. Keegoisan manusia dan kecenderungannya untuk berkuasa membuat manusia sering lupa bahwa manusia hidup di alam semesta yang harus juga dipelihara. Egoisme dan keserakahan manusia sering kali membawa dampak yang buruk bagi lingkungan sekitarnya, bagi alam pada umumnya.

Kesejahteraan dan kemakmuran seringkali diukur dari kekayaan pribadi masing-masing individu. Berapa besar luas rumah yang ditinggali, seberapa banyak uang yang tersimpan, seberapa sering bepergian ke Luar Negeri, atau seberapa banyak barang bermerk terkenal yang dikenakannya. Manusia mengukur kesejahteraan dan kemakmuran seringkali berdasarkan ukuran materi yang dimilikinya.

Sebagai manusia yang beragama dan berTuhan, seberapa besar kita pernah menyadari bahwa kesejahteraan itu sebenarnya dapat kita nikmati saat kita sedang memandangi pegunungan yang sejuk, kemakmuran itu berarti bahwa kita dapat menikmati udara pantai yang menyegarkan, kebahagiaan dan kedamaian itu tercipta justru pada saat kita sedang bersekutu dengan alam sekitar kita.

Ijinkan saya bertanya pada Anda yang saat ini sedang membaca tulisan saya ini. Apakah Anda kenal dengan tetangga-tetangga yang ada disekitar Anda? Bukan sekedar tahu nama tapi juga mampu bertegur sapa dan saling mengobrol saat berjumpa? Seberapa sering Anda bertegur sapa dengan tukang sampah yang setiap hari mengambil sampah rumah tangga di depan rumah Anda? Apakah Anda tahu kemana sampah-sampah itu dibuang setelah diangkut oleh tukang sampah? Seberapa sering Anda memperhatikan jumlah sampah rumah tangga yang Anda buang setiap harinya? Apakah ada makanan sisa yang juga Anda buang? Seberapa banyak makanan sisa yang Anda buang? Atau bahkan, pernahkah Anda memperhatikan isi lemari pendingin Anda, apakah ada makanan yang telah lewat masa berlakunya dan Anda tidak menyadarinya sampai pada akhirnya terlanjur berbau busuk sehingga Anda terpaksa membuangnya?

Saudaraku terkasih, pernahkah Anda dihadapkan pada situasi dimana Anda berada dalam sebuah pesta dan Anda menikmati semua makanan yang disediakan namun ketika keluar dari tempat pesta Anda menemukan ada seorang anak kecil dengan pakaian lusuhnya sedang mengais dalam tempat sampah mencari sisa-sisa makanan demi mengisi perutnya yang kosong?

Sepenggal kalimat dari ensiklik "Laudato Si" yang dikeluarkan oleh Bapa Paus Fransiskus mengatakan bahwa "Setiap kali makanan terbuang, makanan itu seolah-olah dicuri dari meja orang miskin". Paus Fransiskus khawatir terhadap kerusakan alam yang terjadi. Apakah kita yang meyakini bahwa seorang Paus sebagai wakil Kristus di dunia tidak tergerak dengan perkataan dan himbauan beliau? Apakah kita masih mau mengabaikan kepedulian kita dan menutup mata pada kerusakan bumi?

Mari saudaraku, dimulai hari ini, kita berusaha untuk lebih peka pada hal-hal yang selama ini luput dari perhatian kita yang ternyata kebiasaan tersebut justru membawa kita pada pengrusakan alam. Mari mulai saat ini kita lebih perduli dan mau memperhatikan lingkungan sekitar kita dengan mengurangi sampah plastik sedapat mungkin. Kita mungkin tidak ditakdirkan untuk mengubah dunia, namun kita dapat memilih untuk ikut ambil bagian sebagai individu yang turut membantu mengurangi sampah, lebih perduli pada lingkungan dan alam sekitar dan lebih mampu memperhatikan hal-hal kecil yang bermanfaat untuk menjaga bumi ini lebih baik. Semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria mendoakan kita selalu dalam setiap langkah hidup kita.

Monday, February 6, 2017

Ketika Tangis Menjawab Sebuah Pertanyaan

Dalam beberapa bulan belakangan ini kita telah dihadapkan pada beberapa peristiwa yang penuh sukacita dan kegembiraan. Katakanlah sejak bulan Desember kita merayakan hari Raya Natal, lalu dilanjutkan dengan pesta Tahun Baru, kemudian di akhir Januari ada pula perayaan Imlek, kemudian disusul peristiwa Valentine's day, hari penuh sukacita dan kasih sayang. Rasa-rasanya ketika kita terus menerus mengalami peristiwa-peristiwa gembira kita merasa waktu cepat berlalu, rasanya tak ingin segera berakhir. Ingin terus berada dalam suasana yang penuh keceriaan.

Namun dibalik suasana gembira itu, pernahkah Anda tetap merasa sedih? Pernahkah Anda merasa tetap kesepian bahkan dalam situasi diri Anda yang sedang berada dalam keramaian? Pernahkah Anda merasa justru ditengah kegembiraan itu Anda malahan ingin menangis? Pernahkah Anda bertanya pada Tuhan mengapa Anda bisa merasa begitu bahagia?

Sepertinya jarang sekali ada orang yang bertanya mengapa bisa berbahagia? Orang seringkali bertanya justru pada saat mengalami kesulitan dan penderitaan. Orang yang bertanya mengapa tetap merasa sedih saat sedang dalam suasana bahagia, biasanya dikarenakan ada perasaan yang "hilang" dan "hampa". Ketika perasaan semacam itu timbul, mungkin itu adalah cara Tuhan mengatakan pada kita bahwa sudah saatnya kita berlutut pada-Nya dan berdoa.

Seorang pelayan Tuhan, begitu bersemangat dalam melayani. Dia banyak mengorbankan waktunya untuk melayani di gereja, begitu bersemangat dan penuh sukacita. Banyak orang yang terhibur dengan kehadiran dan semangat yang ditularkan orang ini. Orang di sekitarnya memberikan komentar-komentar yang mengira hamba Tuhan yang selalu ceria ini sepertinya tidak pernah mengalami kesulitan yang besar karena dia selalu terlihat bersemangat dan tersenyum.

Suatu ketika usai kembali dari pelayanannya, pelayan setia ini sampai di rumahnya dalam keadaan yang kelelahan. Duduk di atas tempat tidurnya, tidak sedang melakukan apapun, tiba-tiba tanpa sadar air matanya mengalir begitu deras. Dia tak bisa menghentikannya, dia bahkan tak bisa menghibur dirinya sendiri. Dia tidak tahu mengapa air matanya tak bisa berhenti mengalir, dia bahkan tidak tahu mengapa dia menangis sendirian, dia merasa sangat lelah. Lelah secara fisik dan mentalnya. Dia lelah dengan segala macam pelayanan yang dilakukannya, dia bahkan mempertanyakan mengapa dia mau melayani sampai begitu rupa. Dia menangis semalaman dan tanpa sadar, dia membuat tanda salib dan berdoa dalam tangisannya.

Tidak, dia tidak berdoa, tidak mengucapkan sepatah katapun, dia hanya menangis setelah selesai membuat tanda salib. Dia menangis sampai lelah dan tertidur. Dalam mimpinya, dia bertemu dan berbincang dengan Tuhan. Dia cerita tentang kelelahan yang dirasakannya, dan Tuhan menjawab, "Ini Aku" (bdk Yes 58:9). "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan" (Mat 11:28-29).

Seketika itu juga, dia sadar, bahwa selama dalam pelayanannya dia banyak mengandalkan dirinya sendiri. Sudah saatnya bagi dia untuk sujud menyembah-Nya. Berlutut, berdoa dan bertobat atas kelalaiannya. Kelelahannya adalah akibat dari sikap hidupnya yang jauh dari kehidupan doa. Keheningan untuk mendengarkan suara Tuhan sudah tidak lagi dicari olehnya.  Tanpa sadar mengandalkan diri sendiri menjalani hari-harinya. Jauh dari doa, jauh dari Tuhan, jauh dari kekudusan.

Saudaraku yang terkasih, apabila saat ini Anda sedang mencari kedamaian dan sukacita yang sejati dan bukannya mencari kegembiraan duniawi saja, mungkin inilah saatnya bagi Anda untuk berlutut dan bertobat. Sudah saatnya Anda pun berkata pada Tuhan, "Tuhan, ini aku. Tanpa-Mu aku bukanlah siapa-siapa. Tanpa-Mu kehidupan adalah hampa dan tak berarti, tanpa-Mu, sukacitapun terasa gersang. Ijinkan aku mengalami sukacita yang abadi, kedamaian yang sejati. Hidup penuh dengan cinta kasih dan sadarkan aku bahwa semuanya itu harus aku jalani dengan sikap tobat yang tulus. Amin." Semoga Tuhan memberkati dan Bunda Maria mendoakan kita semua.