Tuesday, December 8, 2015

Sehati Sejiwa Berbagi Sukacita

Apa kabar saudaraku? Hari ini sungguh hari yang menyenangkan bagi saya. Semoga Anda pun mengalami hal yang indah hari ini. Ketika sedang bahagia seperti ini, kadang kala saya merasa bahwa Allah begitu dekat dengan saya. Ia hadir dan membuat saya tersenyum sepanjang hari. Bukan tentang hari ini indah maka Anda berbahagia, tetapi Anda berbahagia maka hari ini menjadi indah.

Saat orang sedang penuh sukacita, begitu mudah baginya untuk bersyukur. Tetapi saat sedang kesal atau marah ataupun sedih, rasanya rasa syukur pun lenyap begitu saja. Tak ada keinginan untuk bersyukur, kalaupun memaksakan rasa syukur itupun terasa hambar dan tak bermakna. Sebuah kisah yang ingin saya bagikan mungkin pernah Anda alami juga. Semoga kisah ini pada akhirnya membawa kita semua pada makna sukacita sesungguhnya.

Seorang yang saya kenal, saat ini sedang menyimpan amarah yang begitu besar. Tanpa menyadari apa yang dilakukannya, dia berkata bahwa ia membenci suaminya, ia membenci keluarga dari suaminya, ia bahkan menyesal telah membuat keputusan untuk menikah. Tak ada kata lain yang dapat terucap dari saya ketika mendengar keluh kesahnya. Sabar dan berdoa, hanya itu yang mampu keluar dari mulut ini ketika dia selesai bercerita. Sabar? Kurang sabar apalagi dia menghadapi situasi kehidupan keluarganya? Begitu dalihnya.

Berdoa? Entah berapa ratus ribu kali dia berdoa bahkan sambil menangis menghadapi cobaan ini. Tidakkah Tuhan mendengarnya? Mengapa tidak ada jawaban dari-Nya? Mengapa Ia menjauh dan tidak perduli dengan airmatanya? Mengapa Ia membiarkannya? Bukankah selama ini ia tekun berdoa, berusaha menjadi orang baik dan melayani sesama? Apa yang salah dalam hidupnya sehingga semuanya terjadi begitu menyedihkan? Apa salahnya sehingga ia harus mengalami semua ini? Bukannya membaik, kehidupannya malah terasa semakin terpuruk, terperosok semakin dalam dan gelap? Ia kecewa. Ia menyesal. Ia teriris dan sakit.

Nasihat tak lagi mempan. Kata-kata peneguhan pun terucap sia-sia. Seperti tak ada harapan, sulit menemukan jalan keluar yang terbaik. Saya mencoba meraih tangannya. Tapi ia tak mau menerima uluran tangan itu. Lalu bagaimana saya bisa menariknya keluar dari jurang jika ia mengeraskan hati seperti itu? Baginya semua sudah terlanjur. Nasi sudah menjadi bubur. Masa depan yang suram terbayang dimatanya. Dalam keputusasaan itu, tangan Tuhan bekerja. Yeremia 32:27 "Sesungguhnya, Akulah TUHAN, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk-Ku? Lukas 1:37 "Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil."

Ketika Yesus di taman Getsemani, Ia berdoa, "Kata-Nya: "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki" (Markus 14:36). Ketika kita membiarkan diri kita sepenuhnya dipimpin oleh Allah, bahkan penderitaan seberat apapun bisa kita tanggung. Di dalam nama Tuhan, ada kekuatan, ada penghiburan, ada sukacita dan yang pasti ada harapan! Disaat semua pintu tertutup, yakinlah bahwa Allah telah menyediakan jendela lain terbuka. Ketika terperosok dalam jurang yang dalam, percayalah bahwa Allah telah menyediakan jalan untuk mendaki. Mungkin Dia tidak akan menyediakan anak tangga berlapis emas. Atau tangga batu yang terjal. Mungkin saja dia hanya menyediakan akar pohon yang kuat dan tersembunyi dibalik bebatuan, bukankah tugas kita untuk mencarinya? Mencari penuh keyakinan dimana sekiranya akar pohon itu tersembunyi, mencari penuh ketekunan di setiap celah-celah batu yang keras. Mencari dengan penuh kepercayaan, bahwa Tuhan telah menyediakan sarana bagi kita untuk mendaki jurang yang curam itu. Maukah kita mencari dan menemukan akar pohon itu? Mampukah kita bertekun dalam pencarian kita?

Saudaraku, Tuhan tidak pernah tidur. Ketika tidak ada kata lain yang bisa terucap oleh bibir kita, Dia tiba-tiba bekerja, Dia campur tangan memberi penyelesaian. Allah hadir dalam rupa yang tersamar. Kabar gembira lalu hadir, tiba-tiba saja, seperti hujan yang turun dan menyejukan, orang yang saya kenal itu berkirim pesan. Dia melihat ada harapan, keluarga suaminya mulai berubah. Ia pun luluh. Kebenciannya luntur, kemarahannya pudar. Ada harapan baru, ada lembaran baru dan yang pasti ada sukacita hadir.

Sukacita bukan sekedar kebahagiaan biasa. Sukacita adalah emosi terdalam yang hadir ketika kebahagiaan berpadu dalam relasi yang begitu dekat dengan Allah. Ketika hati kita bahagia, jiwa kita pun tersenyum. Jiwa kita yang selalu haus akan kebenaran, jiwa kita yang selalu mencari kedamaian, saat hati yang bahagia, bersatu dalam jiwa yang damai, saat itulah kita dapat berbagi dengan sesama kita penuh sukacita.

Ya, harapan membawa hati yang bahagia, jiwa yang tenang, telah membawa saya pada sukacita yang ikut saya rasakan ketika mendapat kiriman pesan singkat itu. Hati yang bahagia, jiwa yang tenang selalu hadir ketika kita berada dekat dengan Allah, ketika kita merasakan anugrah-Nya yang begitu nyata dalam hidup kita. Pada saat kita memiliki hati yang bahagia dan jiwa yang damai, kita akan bisa membagikan sukacita pada orang-orang disekitar kita. Percayalah selalu pada janji Allah. Dia setia. Dia Allah yang menghidupkan. Janji-Nya adalah YA dan AMIN! Allah hanya ingin agar kita setia, agar kita bersyukur, agar kita selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap hal di hidup kita. Marilah kita mendekatkan diri pada-Nya selalu. Dan marilah kita menjadi umat-Nya yang sehati dan sejiwa untuk berbagi sukacita, karena dengan berbagi sukacita, kita pun turut serta membagikan kasih pada sesama. Hati yang bersukacita menunjukan Allah yang hadir dan meraja dalam hidup kita. Selamat menyiapkan hati menyambut kehadiran Yesus. Selamat Natal. Semoga damai dan sukacita Natal menyertai Anda dan keluarga. Tuhan memberkati.