Saturday, June 6, 2015

Mampukah Saya Menjadi Paulus Masa Kini?

Saya beruntung terlahir dalam keluarga Katolik. Mengapa beruntung? Karena setelah puluhan tahun menjadi seorang Katolik saya banyak belajar tentang Yesus dan membuat saya semakin hari semakin mencintai Yesus. Saya memulai pelayanan saya sebagai seorang misdinar saat masih kecil, bukan karena saya merasa terpanggil sebagai misdinar ketika itu. Namun lebih karena mengikuti kakak saya yang lebih dahulu menjadi misdinar. Saat itu, sama sekali saya tidak mengerti mengapa saya mau mengikuti jejak kakak saya menjadi misdinar. Mengerti pun tidak soal pelayanan, hanya ikut-ikutan dan kesannya keren-kerenan karena sebagai misdinar kita mengenakan jubah saat bertugas.

Menjadi semakin dewasa dan lebih mengerti tentang pelayanan membuat pelayanan saya semakin bertambah, mulai mengikuti kegiatan koor, karismatik, lektor, taize, komsos dan pernah pula mengikuti legio Maria. Terdengar banyak sekali yaa kegiatan saya? Hahaha, tidak sebanyak itu sebenarnya. Saya sedang mencari kegiatan yang paling cocok dengan pribadi saya sehingga saya mencoba banyak sekali komunitas di gereja. Itulah kekayaan gereja Katolik yang membuat saya semakin jatuh cinta. Banyak jenis kegiatan yang bisa kita pilih sesuai dengan panggilan kita.

Saya bercerita sekilas tentang masa lalu saya sebenarnya karena saya ingin bercermin pada pribadi Santo pelindung paroki kita. Ya, siapa lagi kalau bukan St. Paulus? Berbeda dengan saya yang terlahir dari keluarga pengikut Kristus, St. Paulus justru mempunyai masa lalu yang berkebalikan dengan masa lalu kita dan mungkin sebagian besar umat katolik di dunia yang terlahir sebagai katolik. St. Paulus lebih dikenal dengan masa lalu yang kelam. Dia kejam, dia menganiaya pengikut Kristus, dan bahkan sampai bertekad membinasakan para pengikut Kristus. Sejak kecil St. Paulus tidak mengenal Kristus, sampai akhirnya Allah sendiri yang menjamahnya dan membuat St. Paulus bertobat.

Dalam pertobatannya itu, St. Paulus menjadi salah satu pengikut Kristus yang justru paling bersemangat mewartakan tentang Yesus. St. Paulus dengan segala usahanya dan surat-suratnya membawa banyak jiwa-jiwa baru yang bertobat. Ia sangat aktif berkelana untuk memberitakan tentang Injil. Semangat pertobatannya bahkan jauh melebihi semangatnya dahulu ketika ingin membinasakan pengikut Kristus.

Ketika saya merenungkan perjalanan hidup saya yang terlahir Katolik dan perjalanan kekatolikan saya entah mengapa rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjalanan St. Paulus yang dengan segala pertobatannya mau dan mampu terlibat dalam masyarakat, berbaur dengan sesama dan bahkan mengajar mereka untuk kemudian menunjukan pada mereka bagaimana sikap pengikut Kristus itu seharusnya. Ketika hidupnya bahkan terancam karena pengajarannya, St. Paulus telah memilih untuk tetap setia dengan keyakinannya.

Dalam kehidupan kita, seringkali kita dihadapkan pada kenyataan pahit yang membawa kita pada masa kelam. Kadang pula justru kita diberikan rahmat kelimpahan yang bagi sebagian orang malah membuatnya buta dan angkuh. Ketika kita dipercaya untuk memimpin beberapa orang saja, kita kadangkala merasa bahwa kitalah yang paling hebat, kita mampu disaat orang lain tak mampu. Kita menjadi lupa bahwa ada tangan tak terlihat yang telah mengatur kita.
Saat-saat kita diuji, kerap kali kita justru menghindar, menjauh, bahkan menghilang dari hadapan Tuhan. Kita marah, kita memaki, kita mengancam Tuhan, kita terus menyalahkan-Nya mengapa kita harus melewati ujian itu. Saya sering kali membaca di media sosial tentang orang-orang yang dari luar saya pikir adalah pribadi yang religius dan suci, namun berkomentar buruk di media sosial. Kata-katamu mencerminkan kualitas dirimu. Itu yang selalu diajarkan pada saya sejak dulu. Mungkinkah seorang pengikut Kristus melayani Tuhan sambil menggerutu? Apa pantas pelayan Tuhan memuji dan memuliakan Tuhan dengan nyanyian puji-pujian tetapi disaat yang bersamaan juga memaki dan menghujat sesamanya?

Menjadi seperti St. Paulus pada masa sekarang tidaklah perlu berkelana kesana kemari sambil memberitakan Injil seperti yang dilakukan oleh St. Paulus. Cukup dengan menjaga tutur kata kita, intonasi cara bicara kita, rasanya hal-hal kecil itulah yang sering kali terlewatkan oleh kita dalam bersikap sebagai pengikut Kristus. Paulus mengajar kita tetap setia walau dalam ujian. Paulus mencontohkan pada kita cara hidup yang pantas sebagai seorang pengikut Kristus. Paulus bahkan mewariskan pada kita surat-suratnya yang dapat kita jadikan acuan hidup kita.

Begitu banyaknya pengajaran St. Paulus yang kita baca dalam Kitab Suci, apakah ada salah satu dari kita yang berusaha untuk meneladan hidupnya? Ataukah ada yang terpanggil untuk menjadi pewarta seperti St. Paulus? Ketika kita sudah terpanggil menjadi pelayan Tuhan, apakah kita tetap rendah hati dan mengakui karya-karya kita itu sebenarnya adalah bukti keberadaan Tuhan di dunia? Ataukah kita terlalu sibuk dengan memegahkan diri dan beranggapan bahwa kita telah berusaha sekuat tenaga dengan kekuatan sendiri saja? Apakah kata-kata yang terucap dari mulut kita adalah kata-kata yang mengandung berkat? Apakah kita dapat menjadi teladan yang baik bagi sesama kita? Apakah kekatolikan dan pengajaran yang kita terima selama menjadi pengikut Kristus telah kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari kita? Mari kita bersama meneladan St. Paulus yang dalam pertobatannya telah berkembang menjadi pribadi yang mencerminkan sikap dan pelaku firman Allah. Semoga Tuhan memberkati kita semua dalam peziarahan kita menjadi pribadi-pribadi yang mau semakin dibentuk oleh-Nya. Amin.