Friday, March 6, 2015

Bagaimana Memaknai Masa Prapaskah?

Ketika saya diminta untuk mendefinisikan masa Prapaskah dalam sebuah kalimat atau kata sederhana, dengan mudah saya akan menjawab: Masa Pertobatan tanpa ragu sedikitpun ataupun tanpa perlu berpikir dengan keras. Namun ketika saya diminta untuk menulis artikel tentang "Pertobatan Sejati", saya langsung terdiam (kalau kata orang Sunda sih bisa dibilang saya langsung "ngahuleung"). Apa ya yang sebaiknya saya tulis? Pertobatan seperti apa ya yang disebut sebagai SEJATI? Bagaimana bentuknya pertobatan sejati itu? Reaksi bingung saya ini membawa saya pada permenungan yang sangat panjang.
Setelah berguru kesana kemari mulai terbukalah pandangan saya. Banyak pikiran-pikiran besar dan muluk-muluk yang saya bayangkan sebelumnya tentang pertobatan sejati itu. Namun saya salah besar ketika akhirnya saya mendapat pencerahan itu. Hal-hal yang sebenarnya sederhana dan terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari pin dapat membuat kita memaknai makna Masa Prapaskah itu sendiri.
Pada awal tahun baru 2015 yang lalu kita diajak untuk merenungi resolusi kita di tahun yang baru, apakah resolusi yang kita tuliskan di agenda itu hanya resolusi dalam hal pemenuhan kebutuhan duniawi saja? Ataukah resolusi yang kita doakan dan dan kita targetkan itu adalah resolusi yang berpusat pada pengembangan diri dan pertumbuhan iman kita? 
Saat melihat kembali resolusi pribadi saya di awal tahun 2015 ini, saya menyadari bahwa resolusi yang saya tuliskan lebih banyak untuk memenuhi kepuasan sendiri saja. Ingin punya smatphone paling canggih, ingin punya mobil, ingin ini, ingin itu dan makin bertambah daftarnya saat kemarin menjelang tahun baru Imlek. Ketika saya diminta menulis tentang pertobatan sejati ini, saya langsung mencoret semua resolusi saya yang panjang itu.
Menurut 1 Korintus 7:32-34, "Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya." Saat membaca penggalan perikop Kitab Suci tersebut, saya kembali disadarkan bahwa pertobatan sejati itu adalah sebuah pilihan sikap yang sebaiknya kita jalani.
Saat kita memilih untuk bertobat, hendaknya kita bertobat dengan sungguh-sungguh. Sungguh ingin menjadi pribadi yang lebih rendah hati pada saat sekarang dimana kita dipercaya memimpin suatu perusahaan atau komunitas atau organisasi tertentu. Sungguh ingin menjadi anak yang berbakti dengan rajin belajar dan membantu orang tua. Sungguh ingin menjadi pribadi yang berjiwa besar saat melihat teman, tetangga ataupun saudara kita sendiri yang ternyata telah mencapai apa yang belum kita capai. Sungguh menjadi pribadi yang ingin semakin lebih dekat dengan Tuhan lewat pelayanan kita. Menjadi pribadi yang bertobat adalah pribadi sederhana yang hanya memusatkan perhatian demi perkembangan iman dan pelaksana ajaran-ajaran Tuhan sendiri.
Saat menilik kembali batin kita dan janji-janji yang pernah terucap pada Tuhan namun sampai sekarang belum kita wujudkan, saat itulah kita disadarkan bahwa masih banyak dari kita yang hanya sibuk dengan urusan kita sendiri tapi lupa berbenah diri. Tak jarang pula orang yang terlibat dalam pelayanan di gereja, dari luar tampaknya suci dan dekat dengan Tuhan, begitu religius dan kudus, namun membuat status di media sosial dengan kata kasar maupun keluhan yang seolah tak berakhir.
Hal sekecil apapun yang ingin kita ubah, niat sekecil apapun yang kita coba wujudkan sedikit demi sedikit itu tentunya jauh lebih berharga dibanding janji muluk dan kata-kata indah yang kita pasang di status media sosial kita. Niat yang tulus dan sungguh dilaksanakan itulah yang merupakan pertobatan yang Tuhan kehendaki. Entah sudah berapa banyak Paskah yang pernah kita rayakan. Entah berapa banyak pula pantang dan puasa yang pernah kita lakukan. Apakah dengan banyaknya hari dan tahun itu kita sungguh menjalankan amanat Bapa?
Apakah kita sudah lebih rajin ke gereja? Apakah kita sudah memulai pelayanan kita sebagai anggota gereja? Apakah kita sudah mulai memperbaiki hubungan yang pernah rusak karena masalah tertentu? Apakah kita sudah jujur mengakui kesalahan yang pernah kita lakukan? Sudah rendah hatikah kita saat kita sedang dalam posisi puncak? Sudah penuh syukurkah kita bahkan disaat-saat paling menyedihkan dalam hidup kita? Sudah minta ampunkah kita saat kita sedang dalam lembah kekelaman? Sudah memberi maafkah kita pada musuh-musuh kita? Sudah berjanjikah kita menjadi pribadi sederhana yang mau menerima dan melaksanakan setiap Sabda Allah?
Bukan manusia yang sempurna yang Tuhan harapkan, namun manusia yang penuh kelemahan namun selalu berusaha memperbaiki dirilah yang pada akhirnya dipilih oleh Allah. Beranikah kita menjadi orang-orang pilihan itu? Beranikah kita mengalami pertobatan sejati yang dipupuk mulai hari ini? Semoga kita selalu diingatkan pada lambang Salib abu yang kita terima pada saat misa Rabu Abu, lambang pertobatan dan pengingat kita agar terus memperbaiki diri sebelum kita kembali menjadi abu. Mari saling menguatkan dan bertobat. Semoga Tuhan memberkati Anda dan keluarga. Amin.